Sabtu, 08 Oktober 2011

Perjalanan komik indonesia

Komik Indonesia, dalam pengertian buku bacaan yang berisi cerita dalam bentuk gambar dan aksara, atau kadang cuma gambar saja, seperti yang selama ini kita kenal, pertama kali muncul pada awal tahun 1931, di media massa masyarakat Cina berbahasa Melayu. Harian Sin Po namanya. Ketika itu, Kho Wan Gie yang kemudian menggunakan nama Sopoiku, memulai debut cergam humor yang menceritakan tentang sosok lelaki gendut bermata sipit, bernama Put On, yang suka melindungi rakyat kecil.

Marcel Bonneff, peneliti sejarah dan perkembangan komik Indonesia, menempatkan titik awal sejarah pertumbuhan Komik Indonesia ialah pada awal Perang Dunia Pertama, yaitu dengan dipublikasikannya cerita bergambar yang bercorak realistis di Harian Ratoe Timoer, Solo, pada tahun 1939, yang berjudul Mentjari Poetri Hijaoe, karya Nasroen A. S.

Langkah-langkah awal kelahiran komik Indonesia ini dilanjutkan oleh komikus-komikus lain, yang antara lain: B. Margono, yang membuat komik Roro Mendut dan dipubliksikan di Harian Sinar Matahari Jogjakarta, pada masa pendudukan Jepang – 1942.

Setelah Indonesia merdeka – 19 Desember 1948, Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, memuat komik Kisah Pendudukan Jogja, karya salah seorang pionir komik Indonesia, Abdulsalam. Menurut temuan Arswendo Atmowiloto, berdasar pada katalog atau kartu yang sesuai dengan iklan dalam Minggu Pagi, bahwa Kisah Pendudukan Jogja ini pernah dibukukan, dan beredar pada 19 Desember 1952, yang berarti merupakan buku komik pertama yang terbit di Indonesia. Dan ini bisa dijadikan koreksi atas catatan Marcel Bonneff yang mengatakan bahwa komik Indonesia yang pertama dibukukan adalah Sri Asih, yang beredar pada sekitar 1953 atau 1954, karya R. A. Kosasih (komikindonesia.com – 19 Juli 2007).


Komik Djoko Tingkir dan Pangeran Diponegoro, karya Abdulsalam yang lainnya, dimuat di Minggu Pagi, 16 Nopember 1952. Pada tahun-tahun berikutnya bermunculan buku-buku komik dengan tema kepahlawanan atau heroisme. Dan yang paling terkenal dari masa itu adalah Sri Asih, karya R. A. Kosasih. Dan kesuksesan itu kemudian diikuti oleh komikus-komikus lain, dengan menciptakan karakter-karakter superhero – baik laki-laki maupun perempuan, antara lain: Siti Gahara, Sri Dewi, Puteri Bintang, Garuda Putih, Kapten Comet, dan sebagainya. Masa ini patut disebut sebagai awal dari masa keemasan komik Indonesia yang pertama.

Karena komik-komik superhero itu dianggap hasil adaptasi dari komik asing, seperti Wonder Woman, Superman dan Flash Gordon, maka kalangan pendidik dan budayawan Lekra yang saat itu sedang berkuasa, lantas mengkritiknya habis-habisan dan bahkan menentangnya dengan terang-terangan. Dan karenanya, beberapa penerbit yang cari jalan selamat, antara lain, Melodie – Bandung, dan Keng Po – Jakarta, segera mencari solusinya. Mereka menentukan orientasi baru dalam tema-tema komik, yaitu yang bermuatan budaya nasional. Dan prioritas lalu diberikan kepada komik-komik bertema wayang Jawa dan Sunda.

R. A. Kosasih segera menyambut perubahan tema ini dengan mulai menggarap komik bertema wayang. Dimulai dengan membuat komik Mundinglaya Dikusuma dan Ganesha Bangun. Tapi peruntungannya baru muncul kembali lewat komik Burisrawa Gandrung dan Burisrawa Merindukan Bulan. Dan akhirnya, ia menjadi terkenal karena keberhasilannya dalam membawa epik Mahabharata dan Ramayana.

Sukses R. A. Kosasih lewat komik wayangnya menjadi tonggak zaman emas komik Indonesia yang kedua, setelah era komik superhero perempuannya tumpas dibreidel oleh Lekra. Tak mau kalah dengan kiprah R. A. Kosasih, dari bumi Andalas, khususnya dari Kota Medan, bermunculan pula pionir-pionir komikus berketerampilan tinggi seperti Taguan Hardjo, Djas, dan Zam Nuldyn yang mengeksplorasi cerita rakyat Sumatera, yang sangat digemari pada era 1960-an hingga 1970-an. Mulai pertengahan tahun 60-an, hingga akhir 70-an, komik Indonesia kembali terpuruk.

Memasuki tahun 80-an, masa keemasan komik Indonesia terjadi kembali – untuk yang ketiga kalinya, ketika ragam komik Indonesia begitu kaya dengan tema silat, superhero, roman remaja, komik cerita rakyat, komedi wayang, dan juga komik-komik keagamaan. Nama-nama seperti Ganes Th, Man, Hasmi, Jan Mintaraga, Djair, Wid N. S., Budijanto, Zaldy, Sim, Tatang S., Teguh, Gerdi W. K., Hans Jaladara, dan lain-lain, menjadi nama yang akrab bagi pecinta dan pecandu komik Indonesia ketika itu. Namun berbarengan dengan itu, komik Indonesia juga dimusuhi oleh orangtua dan bahkan juga pemerintah, karena dianggap telah membuat anak-anak sekolah jadi malas belajar, sehingga sering dilakukan razia di tempat-tempat penyewaan komik dan taman bacaan.

Setelah zaman keemasan itu, komik Indonesia mulai menyurut dengan pesat hingga nyaris mati. Dan meski masih ada yang mencoba untuk bangkit, namun zaman keemasan karya sastra populer telah membuatnya terpinggirkan. Dekade 90-an, bersama mulai memudarnya masa kejayaan karya sastra populer, komik asing mulai menyerbu dan menggusur komik Indonesia. Namun sebuah gerakan baru, yang bermula dari Bandung, yaitu gerakan komik Indie telah mengangkat kehormatan komik Indonesia. Komik yang dulunya dianggap sebagai bacaan yang kurang baik, berhasil ditampilkan sebagai sebuah karya yang nilainya setara dengan karya seni rupa.

Selain itu, keragaman tema, estetis, dan juga bobot isi yang ditawarkan oleh para pegiat komik indie ini – yang pastinya akan sulit diangkat oleh komik-komik industri, telah memberi kontribusi yang cukup besar dalam menggairahkan kembali kehidupan berkomik di Indonesia. Tak jarang, meski dengan persiapan minim dan dana terbatas, mereka tetap nekad mengadakan even komik, atau mengikuti even kesenian demi untuk mengenalkan komik mereka kepada publik.

Memasuki akhir abad ke-20, yang ditandai dengan dimulainya zaman kebebasan informasi dengan bangkitnya internet dan juga kemerdekaan penerbitan, komikus memperoleh banyak pencerahan dengan membanjirnya komik-komik dari luar negeri, sehingga mereka bisa mengeksplorasi gaya masing-masing berdasarkan acuan karya asing yang mereka sukai. Ada 2 aliran utama yang memengaruhi komik modern Indonesia, yaitu Amerika atau yang lebih dikenal dengan comics, dan Jepang dengan stereotipe manga-nya. Namun belakangan, manga-lah yang lebih mendominasi perkembangan tipikal karakter komik Indonesia. Hal ini tak bisa dihindari, mengingat yang kena pengaruh manga ini bukan cuma komikus Indonesia, tapi bahkan juga komikus Amerika dan Eropa.

Menyeberangi abad, memasuki awal abad ke-21, banyak komikus Indonesia yang bangkit dan berjuang melawan hegemoni komik-komik dari luar negeri. Mereka berusaha tampil berbeda dengan membuat gaya gambar yang lebih variatif dan eksperimental. Bahkan banyak komikus indie (independen) yang memassalkan karyanya dengan mengandalkan mesin fotokopi. Dengan penuh semangat dan keberanian mereka memasarkan karya-karya mereka di pameran-pameran komik, atau bahkan dengan melakukan barter dengan sesama komikus. Bersamaan dengan itu, juga tidak sedikit yang melabeli karyanya dengan ‘copyleft’ (lawannya copyright), yang artinya: silakan digandakan, asal tidak untuk dikomersilkan.

Pesatnya perkembangan internet, yang diikuti oleh semakin mudah dan murahnya pembuatan website maupun blog, maka tidak sedikit komikus Indonesia yang lantas memanfaatkannya untuk memajang dan bahkan memasarkan komiknya secara langsung. Dan perkembangan ini diikuti oleh bermunculannya toko-toko komik online, yang bagusnya, selain akan menyingkat jalur distribusi, juga akan membuat harga komik menjadi lebih terjangkau. Dan bagi komikus, sistem penjualan ini membuat mereka bisa menentukan sendiri harga komiknya, dengan resiko laku atau tidaknya akan ditanggung sendiri, karena pihak toko online biasanya hanya mengambil fee dari tiap transaksi.

 Di hari-hari mendatang, dengan makin majunya dunia internet, dan juga semakin canggihnya perangkat baca-tulis jinjing, serta kian lebarnya pintu perdagangan bebas dikuakkan, akan ke mana nasib komikus Indonesia dimuarakan? Namun yang jelas, mengingat hutan sudah semakin langka maka harga kertas pun akan semakin mahal. Maka, alangkah tidak arifnya apabila komikus masih terus ingin berkutat di media cetakan di atas kertas. Jadi, rasanya, sudah waktunya komikus Indonesia mulai bermigrasi ke media digital. Ke internet, ke telepon genggam, ke buku elektronik, dan entah apa lagi yang akan dihadirkan oleh teknologi untuk kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar