Senin, 05 Desember 2011
Gerakan Zionis, Bagaimana Asal Muasalnya?
Theodor Herzl, salah satu simbol gerakan zionis
Kepulan asap mesiu membubung tinggi di udara Gaza. Darah terus tertumpah. Seolah tak dapat dipercaya inilah tanah yang dipaparkan dalam kisah para nabi. Dalam jurnal Historian yang terbit tahun 2009, Ritchie Ovendale memaparkan asal muasal konflik Arab-Israel.
Mantan profesor politik internasional Universitas Wales, Inggris, ini menyatakan, sikap anti-Semit sebagai istilah yang muncul pada 1860 di Eropa menjadi cikal bakal pergerakan kaum Yahudi. Di Rusia, sikap anti-Semit ini disebut pogroms. Periode Dreyfus menandai imigrasi Yahudi Eropa, kemudian menetap di Kanada, Inggris, Australia, dan Afrika Selatan.
Sebagian lagi berimigrasi ke wilayah Kekhalifahan Utsmaniyyah, yakni Palestina. Jumlah terbesarnya mendarat di AS. Ide ‘Tanah Air’ bagi kaum Yahudi digelindingkan pertama kali oleh Leon Pinsker pada 1882 lewat buku Auto-Emancipation. Maknanya dipahami sebagai ‘pendirian kembali’ tanah air Yahudi di Palestina atau Eretz-Israel.
Adapun kata zionis pertama kali digunakan Nathan Birnbaum dalam artikel pada 1886. Secara politis, zionisme diadopsi Theodore Herzl dalam tulisannya, Der Judenstaat (Negeri Kaum Yahudi), yang terbit di Wina, Austria, pada 1896. Herzl memiliki dua pilihan lokasi tanah air, yaitu Argentina atau Palestina.
Argentina, menurut Herzl, punya kondisi alam yang kaya, wilayah luas, populasi sedikit, dan cuaca sedang. Tapi, pilihan kemudian jatuh ke Palestina, bersandar pada Kitab Perjanjian Lama sebagai tanah yang dijanjikan (the promised land).
Kongres zionis pertama di Basel pada 1897 yang diikuti manuver taktis Max Nordau mengubah istilah tanah air ini menjadi heimmstatte, yang diadopsi sebagai sinonim negara. Setelah itu, muncullah World Zionist Organisation, bendera negara, Hatiqva sebagai lagu kebangsaan, dan Jewish National Fund.
Herzl mengembuskan napas terakhir pada 1904. Ia bak mitos yang diagung-agungkan pendukung zionisme. Pada akhir konferensi di Basel, ia mencatat dalam diarinya bahwa di Basel, ia berhasil mendirikan negara Yahudi. Setengah abad kemudian, orang menyadari ambisinya menjadi kenyataan.
Penerus Herzl, Chaim Weizzman, tinggal di Manchester, Inggris. Pada 1906, ia melakukan pendekatan ke berbagai pihak, termasuk Arthur John Balfour. Meski sudah berstatus mantan perdana menteri, Balfour masih berada dalam lingkaran kekuasaan Inggris. Saat itu, populasi Yahudi di Palestina belum mencapai 10 persen dibandingkan bangsa Arab.
Pada 1917, Kabinet Perang Inggris mengizinkan Balfour yang saat itu menteri luar negeri memberikan surat simpati kepada tujuan zionisme. Surat yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour ini menyebutkan, “Pemerintahan yang mulia bersimpati bagi berdirinya sebuah national home di Palestina bagi bangsa Yahudi ….”
Di hadapan Kabinet Perang, Balfour berharap mendulang simpati sehingga populasi Yahudi di Rusia dan AS akan mendesak pemerintah mereka untuk mendukung Inggris. Dukungan ini akan membantu propaganda di kedua negara agar mendukung Inggris memenangkan Perang Dunia I. Lobi zionis, terutama di AS, amat kuat.
Namun, pada 1919, dukungan pada zionisme di Inggris makin melemah. Banyak pendukung zionisme menyadari bahwa tujuan mereka adalah mendirikan negara di Palestina. Sebutan national home dalam Deklarasi Balfour diterjemahkan menjadi negara. Imigrasi pun terus dimobilisasi.
Arthur John Balfour, mantan perdana menteri Inggris yang juga berperan penting bagi gerakan Zionis
Seiring munculnya gejolak perlawanan di Palestina, Inggris memutuskan menjauh dari zionisme. Mereka juga melihat lahan yang tersedia tak lagi mencukupi bagi kedatangan kaum Yahudi. Inggris juga menilai telah memenuhi janji pada Deklarasi Balfour. Adolf Hitler menjadi Kanselir Jerman pada 1933 meningkatkan imigrasi kaum Yahudi Jerman ke Palestina. Aksi ini mengundang perlawanan bangsa Arab, namun ditumpas Inggris.
Tapi, kepentingan atas minyak dunia Arab juga membuat Inggris berpikir ulang mengenai zionisme. Pada 1939, Inggris mengeluarkan ‘buku putih’ yang menyebutkan kebijakan Inggris bukanlah menjadikan Palestina sebagai negara kaum Yahudi. Langkah ini mengundang reaksi kaum zionis. Aksi teror pun mereka lakukan.
Zionis mendirikan Irgun Zvai Leumi yang bertujuan ‘melancarkan kampanye teror terhadap populasi Arab’. Pada 1942, Irgun dipimpin Manachem Begin kelak menjadi perdana menteri Israel. Serangan pun mulai diarahkan kepada lambang-lambang kekuasaan Inggris di Timur Tengah. Inggris terdesak. Dukungannya pada zionisme menjadi bumerang. Sementara itu, lobi zionis terhadap Pemerintah AS semakin ditingkatkan, misalnya lewat electoral punishment, menarik dukungan mereka pada pemilu.
Kemenangan kaum zionis, tulis Ovendale, didukung mesin propaganda serta akses media. Kelebihan lainnya adalah dengan menggunakan Holocaust untuk mendulang simpati.Setelah menyerahkan mandat Palestina kepada PBB, pada 1947 Majelis Umum PBB pun melakukan voting pemecahan wilayah Palestina. Zionisme meraih kemenangan lewat Resolusi 181 yang dikenal dengan Partition Plan. Tanah Palestina terbagi tiga: wilayah Arab, wilayah Yahudi, dan Yerusalem yang berstatus di bawah pengawasan internasional.
Partition Plan mendorong kaum zionis untuk mendeklarasikan berdirinya negara Israel, 14 Mei 1948. Pada 1949, pengungsi Palestina yang terusir nyaris mencapai satu juta jiwa. Bagi bangsa Arab, Palestina adalah tanah air mereka. Hingga kini, kedudukan Palestina-Israel tak setara. Palestina hingga kini tetap tidak diakui sebuah negara.
Edward W Said, profesor di Columbia University, AS, yang menulis setidaknya delapan buku mengenai Palestina, mendukung Palestina-Israel hidup berdampingan secara damai asalkan agresi militer dan penindasan terhadap Palestina diakhiri Israel. Meski terbilang moderat, Said menyatakan, zionis ingin menghentikan langkahnya.
Saat penganut Kristen Episkopalian yang lahir di Nazareth, Yerusalem, ini mengunjungi penjara Khiam yang dibangun Israel di Lebanon selatan, dia memotretnya. Esoknya, media Israel dan Barat memuat Said sebagai ‘teroris pelempar batu, pria pecinta kekerasan, dan lain-lain’. Dia menilai, tindakan itu sebagai ‘propaganda zionis yang penuh permusuhan’.
Pada 2001, tulis Said, “Israel menyewa pengacara AS keturunan Israel untuk ‘menyelidiki’ 10 tahun pertama kehidupan saya dan ‘membuktikan’ saya tidak pernah tinggal di sana meski lahir di Yerusalem. Mungkin, ini menunjukkan saya pembohong yang keliru menafsirkan ‘hak untuk pulang’. Padahal, ‘hak untuk pulang’ memungkinkan kaum Yahudi dari mana saja datang dan tinggal di Israel meski tak pernah menginjakkan kaki di Israel.”
Sejauh ini, Holocaust menjadi senjata kampanye yang ampuh bagi kaum zionis. Media tampaknya menjadi tulang punggungnya. Seperti diakui Said dalam bukunya, The Question of Palestine, yang menyoroti siaran televisi NBC musim semi 1978. “… Sebagian program tersebut ditujukan sebagai justifikasi dari zionisme–meskipun pada saat yang nyaris bersamaan, pasukan Israel di Lebanon melakukan penghancuran, dengan ribuan korban nyawa warga sipil, dan penderitaan yang tak terucapkan. Namun, hanya segelintir wartawan yang berani menggambarkan aksi itu mirip penghancuran yang dilakukan AS di Vietnam.”
Peristiwa pembantaian orang-orang (keturunan) Yahudi oleh Nazi masih diperdebatkan; sebagian pihak–tidak terkecuali analis Barat–meragukan tentang hal tersebut. Namun, terlepas dari benar tidaknya peristiwa Holocaust pada era Nazi, yang jelas Israel telah melakukan pembantaian yang keji dan sistematis terhadap rakyat Palestina secara langsung, dan negara-negara lain secara tidak langsung.
Monumen Holocaust di Berlin
Tulisan menarik dapat dibaca lewat olahan Norman G Finkelstein dalam buku The Holocaust Industry. Finkelstein yang kedua orang tuanya lolos dari Ghetto Warsawa dan kamp konsentrasi Nazi menyatakan, Holocaust terbukti menjadi senjata ideologi yang vital. Dengan cara itu, negara dengan kekuatan militer mengagumkan, dengan catatan HAM mengerikan, telah memotret diri sebagai negara ‘korban’.
Puluhan museum Holocaust kini tersebar di berbagai negara. Di AS, sekurangnya ada 23 museum. Di Washington DC, misalnya, ada United States Holocaust Memorial Museum yang sempat dikunjungi Republika beberapa tahun lalu. Selain menyajikan film, museum ini memamerkan tumpukan sepatu tua, gerbong kereta, dan ratusan artefak. Keterangan tertulis menyebutkan, barang-barang tersebut adalah peninggalan para korban Holocaust.
Di Jerman, juga terdapat museum Holocaust yang bertengger di pusat keramaian kota Berlin. Museum ini didesain dan dibangun dengan biaya yang tidak sedikit. Museum Holocaust di Berlin berada di bawah tanah. Di permukaan tanah di museum itu terdapat monumen yang terbangun dari batu-batu anti grafiti. Jelas sekali lobi Israel bermain sangat kuat bagi pencitraan dirinya sebagai korban tindak kekerasan.
Istilah anti-Semit dan anti-Zionis selalu dicampuradukkan kendati di internal Yahudi sendiri ada suara minoritas menentang zionisme. Para ilmuwan Yahudi, juga di masyarakat di kalangan akar rumput menentang gerakan yang cenderung melanggar asas-asas kemanusiaan itu.
“Para penganut paham liberal atau radikal sekalipun tak mampu membendung kebiasaan kaum zionis yang menyamakan anti-Semit dan anti-Zionis,” tulis Said. Sejarah penderitaan itulah yang dieksploitasi untuk merobek Palestina. Kini, Laut Mediterania seolah menjadi saksi betapa darah dan air mata seakan berlomba tumpah di tanah Palestina.
Tak heran jika Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad begitu kuat berupaya untuk menjadikan isu Holocaust tidak disalahgunakan oleh Zionis untuk membolak-balikkan opini. Dia beberapa kali mengungkapkan bahwa Holocauts adalah mitos. Pernyataan ini tidak lain adalah untuk memancing pemikiran agar dunia sadar betapa zionis mengekspolitasi isu tersebut untuk melegalkan aksi arogannya.
Satu pernyataan menarik pernah diungkapkan Ahmadinejad untuk meruntuhkan mitos Holocaust itu. Selain bercerita soal dipenjaranya beberapa peneliti yang mencoba mendalami Holocaust, Ahmadinejad juga sempat mengajukan pertanyaan yang sangat ‘mematahkan’ argumentasi kaum zionis. “Kalau Holocaust benar terjadi, mengapa warga Palestina yang harus ‘mempertanggungjawabkannya’? Semestinya kan Jerman atau Eropa yang harus membayar utang moral atas kejadian itu,” kata Ahmadinejad dalam satu wawancara dengan Der Spiegel.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar